Polemik Kepemilikan Pulau di Perbatasan Aceh dan Sumut

Polemik Kepemilikan Pulau di Perbatasan Aceh dan Sumut

genkepo.com – Polemik tentang kepemilikan empat pulau di perbatasan antara Aceh dan Sumatera Utara semakin memanas setelah keputusan Kementerian Dalam Negeri menempatkan pulau-pulau tersebut sebagai bagian dari Kabupaten Tapanuli Tengah.

Keempat pulau yang menjadi sengketa adalah Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Kecil, dan Pulau Mangkir Besar, yang saat ini diklaim oleh Pemerintah Aceh.

Rincian Keempat Pulau yang Disengketakan

Keputusan perihal status kepemilikan keempat pulau tersebut diambil berdasarkan Keputusan Mendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025, yang menyatakan bahwa Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Kecil, dan Pulau Mangkir Besar secara administratif berada di bawah Kabupaten Tapanuli Tengah.

Pulau Panjang, yang memiliki luas 47,8 hektare, berada 2,4 kilometer dari daratan utama Tapanuli Tengah, dan meski tidak dihuni, pulau ini memiliki infrastruktur seperti musholla dan dermaga yang dibangun oleh Pemkab Singkil. Menurut Pemerintah Aceh, keberadaan infrastruktur ini menjadi salah satu bukti bahwa Pulau Panjang adalah bagian dari Aceh.

Pulau Lipan, dengan luas 0,38 hektare dan jarak 1,5 kilometer dari Tapanuli Tengah, sebelumnya dikenal sebagai Pulau Malelo berdasarkan konfirmasi pemprov pada 2009. Sayangnya, saat ini, Pulau Lipan hampir tenggelam dan tidak terlihat sebagai pulau.

Sementara itu, Pulau Mangkir Kecil dan Pulau Mangkir Besar juga tidak memiliki penduduk, namun ada tugu batas dan prasasti dari pemerintah Aceh yang memperkuat klaim atas kedua pulau tersebut.

Buktikan Klaim dengan Tugu dan Prasasti

Pemerintah Aceh mengklaim bahwa keberadaan tugu dan prasasti di Pulau Mangkir Kecil, yang dibangun pada tahun 2008, menjadi bukti bahwa mereka memiliki hak atas pulau tersebut. Tugu ini merupakan pernyataan formal dari pemerintah daerah mengenai kepemilikan wilayah tersebut.

BACA JUGA:  Dua Sarapan Indonesia Masuk Daftar Terlezat Dunia

Di sisi lain, meskipun Pulau Mangkir Besar tidak memiliki infrastruktur signifikan, keberadaan tugu batas wilayah yang dibangun oleh Pemerintah Aceh memperkuat argumen bahwa pulau ini termasuk dalam hak Aceh. Kendati tidak berpenghuni, administratif tetap ada untuk klaim tersebut.

Kepala Badan Pengelola Migas Aceh, Nasri Djalal, menyampaikan bahwa meskipun keempat pulau tersebut berdekatan dengan Wilayah Kerja Offshore West Aceh, mereka tidak termasuk dalam cakupan wilayah kerja migas tersebut. Ia menegaskan, ‘Secara umum, keempat pulau tersebut berdekatan dengan Wilayah Kerja (WK) Offshore West Aceh (OSWA) dan tidak termasuk ke dalam WK OSWA.’

Klaim Historis dan Yuridis dari Pemerintah Aceh

Pemerintah Aceh berargumen bahwa keputusan Kemendagri bertentangan dengan sejarah dan bukti yuridis lain yang mereka miliki. Mereka mengungkapkan bahwa pulau-pulau ini secara historis berkaitan dengan Aceh dan telah menunjukkan surat keputusan dari tahun 1965 sebagai dasar legal klaim mereka.

Kepala Dinas ESDM Aceh, Taufik, juga mengungkapkan bahwa pihaknya sedang mendalami potensi migas di kawasan pulau tersebut. Dia menyatakan, ‘Kami lagi cari data akurat, memang itu pernah menjadi wilayah kerja migas. Potensinya memang pernah ada sumur-sumur (migas) tua, tapi informasinya lagi kami gali kembali.’

Polemik ini terus berlanjut dan menarik perhatian berbagai pihak, termasuk Kemendagri yang berupaya mencari jalan keluar melalui jalur administratif dan legal.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *