genkepo.com – Rapat kerja antara Komisi X DPR RI dan Menteri Kebudayaan Fadli Zon pada Rabu, 2 Juli 2025, diwarnai dengan momen emosional ketika para anggota komisi dan pimpinan menangis mendengar penjelasan terkait kasus kekerasan seksual massal pada Mei 1998.
Pernyataan Fadli yang menyangkut peristiwa memilukan ini berhasil menyentuh hati para peserta rapat, termasuk Wakil Ketua Komisi X DPR, MY Esti Wijayanti, yang tidak mampu menahan tangis saat memperdebatkan pernyataan Menteri Kebudayaan.
Momen Emosional dalam Rapat Kerja
Selama rapat kerja, Wakil Ketua Komisi X DPR, MY Esti Wijayanti, menyela penjelasan Fadli Zon dengan mengungkapkan rasa sakitnya ketika mengingat kasus pemerkosaan massal tersebut. ‘Izin Pak, Pak Ketua [pemimpin rapat]. Izin. Semakin Pak Fadli Zon ini bicara, saya kenapa semakin sakit ya,’ ujarnya sambil terisak.
Esti juga menekankan bahwa pernyataan Fadli berpotensi melukai kembali para korban yang sudah lama menderita akibat peristiwa tersebut. ‘Karena saya pas kejadian itu juga ada di Jakarta,’ tambahnya, menunjukkan betapa peristiwa itu masih membekas di ingatan.
Sorotan Terhadap Korban dan Sejarah
Momen emosional ini turut diwarnai oleh anggota Komisi X dari Fraksi PDIP, Mercy Christie Barends, yang juga terlihat terharu saat mengingat banyaknya korban kekerasan seksual di masa lalu. Ia mengangkat isu Pengadilan Rakyat Internasional untuk kasus Jugun Ianfu yang terjadi selama Perang Dunia II, menegaskan bahwa peristiwa serupa seringkali dianggap tabu dalam masyarakat.
Di bawah pengawasan Fadli, sejumlah pihak diharapkan dapat membuka dialog yang lebih dalam terkait dengan permasalahan kekerasan seksual yang belum sepenuhnya terselesaikan. Hal ini juga berpotensi menjadi jembatan untuk mengembalikan kisah korban yang selama ini tidak terdengar.
Harapan dan Dukungan untuk Keadilan
Fadli Zon mengakui adanya kasus kekerasan seksual yang terjadi pada tahun ’98, namun ia mempertanyakan penggunaan istilah ‘massal’ yang disematkan dalam konteks tersebut. ‘Saya mengakui, dalam penjelasan saya, saya mengakui,’ ujarnya saat mendapatkan interupsi dari Esti.
Ia menjelaskan bahwa laporan-laporan media sering menggambarkan perkara tersebut sedemikian rupa sehingga dapat menciptakan asosiasi dengan institusi militer. ‘Ditulis di majalah Tempo ini kan mengadu domba,’ katanya, menekankan pentingnya pendokumentasian yang akurat untuk menciptakan narasi yang berimbang.